Minggu, 25 November 2012

SISTEM PEMILU INDONESIA

                                                            BAB I
                                                               PENDAHULUAN


A.LATAR BELAKANG
         Pemilihan Umum adalah suatu kegiatan politik yang sangat menarik di lingkungan sosial . Pemilihan Umum merupakan salah satu alat dan sarana pelaksanaan kedaulatan yang mendasar pada demokrasi perwakilan di negara. Pemilihan umum juga dapat dirumuskan sebagai mekanisme penyeleksian dan pendelegasian atau penyerahan kedaulatan kepada seseorang calon atau partai yang dipercayai melalui perolehan suara dari masyarakat . Dalam suatu lembaga perwakilan rakyat, seperti DPR atau DPRD, sistem pemilihan ini bisa berupa seperangkat metode untuk mentransfer suara pemilih kedalam suatu kursi dilembaga legislatif atau parlemen. Tetapi , ketika pemilihan itu terjadi pada seorang calon anggota legislatif, sistem pemilihan itu bisa berwujud seperangkat metode untuk menentukan seorang pemenang berdasarkan jumlah suara yang diperolehnya. Singkatnya  , sistem pemilihan ini berkaitan dengan cara pemberian suara, penghitungan suara, dan pembagian kursi.
       Sistem pemilu di Indonesia tidak terlepas dari fungsi rekrutmen dalam sistem politik. Mengenai sistem pemilu Norris menjelaskan bahwa rekrutmen seorang kandidat oleh partai politik bergantung pada sistem pemilu yang berkembang di suatu negara. Di Indonesia, pemilihan legislatif (DPR, DPRD I, dan DPRD II) menggunakan sistem proporsional dengan daftar terbuka. Lewat sistem semacam ini, partai-partai politik cenderung mencari kandidat yang populer sehingga punya daya tarik yang tinggi di mata para pemilih. Hal ini pula yang mendorong banyak artis (sinetron, lawak, penyanyi) yang tertarik untuk bergabung ke dalam sebuah partai politik.

       Setiap sistem pemilu, yang biasanya diatur dalam peraturan perundang – undangan setidak – tidaknya mengandung  tiga variabel pokok, yaitu penyuaran, distrik pemilihan, dan formula pemilihan. Sebagaimana dinyatakan dalam Undang – Undang Pemilu, tujuan dari sistem pemilu adalah melaksanakan kedaulatan Rakyat (Ps. 1 ayat 1) dan membentuk pemerintahan perwakilan (Ps 1 ayat 3 dan 4 ). Suatu ketentuan yang sejalan dengan prinsip demokrasi universal. Akan tetapi di dalam pengoperasiannya, penguasa menjuruskan tujuan tersebut untuk membangun legitimasi bagi suatu pemerintah yang stabil dan kuat melalui mobilisasi politik. Maka operasi pemilu secara demokratis yakni menyeimbangkan tujuan operasional tersebut dengan penggunaanya sebagai alat perjuangan kepentingan rakyat melalui pertisipasi politik dan sosialisasi politik, menjadi terabaikan alam.





B .Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan sistem pemilu Indonesia?
2. Bagaimana pengaturan pemilu dalam UUD 1945 ?
3. Apa saja sistem pemilu yang pernah berlaku di dunia?
4. Apa saja sistem pemilu yang berlaku di Indonesia ?
C.Tujuan
1.Untuk memenuhi kewajiban penulis dalam menyelesaikan tugas Sistem Pemilu Indonesia
2.Untuk mengetahui bagimana sistem pemilu
3.Untuk menambah wawasan baik penulis maupun pembaca mengenai sistem pemilu di Indonesia.




















                                              
BAB II
                                      PEMBAHASAN

 
I.PENGERTIAN SISTEM PEMILU INDONESIA

    
pemilihan umum merupakan sarana , alat atau mediasi untuk pelaksanaan kedaulatan rakyat yang dilaksanakan secara langsung , umum , bebas , rahsia , jujur , dan adil dalam NKRI berdasarkan pancasila dan UUD1945 . Pemilu harus di laksanakan secara efektif dan efisien berdasarkan asas langsung , umum , bebas , rahasia , jujur dan adil .

      Sistem pemilu dibagi dua yaitu :
      1. Sistem perwakilan distrik
à single member constituency
      2. Sistem perwakilan berimbang
à multi member constituency

1. A. Sistem perwakilan distrik yaitu
   -. sistem yang di tentukan atas kesatuan geografis di mana setiap geografis / distrik                       hanya mewakili satu wakil .
   -. jumlah distrik yang di bagi ama dengan jumlah satu permanen .
   
B. Sistem perwakilan Distrik
      Kelemahan :
    - kurang memperhatikan partai kecil / minoritas
    - kurang represiantif karena calon yang kalah kehilangan suara pendukung nya
     
      Kelebihan :
    - calon yang di pilih di kenal baik karena batas distrik
    - mendorong kearah integrasi parpol , karena hanya memperebutkan satu wakil .
    - sederhana dan mudah di laksanakan
    - berkurangnya parpol memudahkan pemerintahan yang lebih stabil
à integrasi

2. A. Sistem Perwakilan Proporsional
-jumlah kursi yang di peroleh sesuai dengan jumlah suara yang di peroleh
- wilayah Negara dibagi-bagi ke dalam daerah-daerah tetapi batas-batas nya lebih                            besar dari pada sistem distrik
-  kelebihan suara dari jatah satu kursi bisa di kompensasikan dengan kelebihan daerah lain
- Terkadang,dikombinasikan dengan sistem daftar , diamana daftar calon disusun berdasarkan        peringkat .
 
   B.Sistem perwakilan Proporsional
    Kelemahan
  - mempermudah fragmentasi dan timbulnya partai partai baru
  - wakil lebih terikat dan loyal dengan partai daripada rakyat atau daerah yang di wakilinya
  - banyaknya partai bia mempersulit terbentuknya pemerintah stabil
   
    Kelebihan
  - setiap suara dihitung , dan yang kalah suaranya dikompensasikan sehingga tidak ada suara yang hilang

II. BAGAIMANA PENGATURAN PEMILU DALAM UUD 1945

- pasal 18 ayat 3 à pemerintahan daerah provinsi , daerah , kabupaten , dan kota memiliki       DPRD yang anggota anggota nya dipilih melalui PEMILU .
- pasal 19 ayat 1
à anggota DPR dipilih melalui PEMILU
- pasal 22C ayat 1
à anggota DPD dipilih dari setiap provinsi melalui PEMILU. Ayat 2 Jumlahnya sama dan jumlah seluruh anggota DPD itu tidak lebih dari sepertiga anggota DPD itu tidak lebih dari sepertiga jumlah anggota DPR.
- pasar 22E
à PEMILU.
-.Pemilu dalam UU No.10 Tahun 2008
   tahapan penyelenggaraan pemilu meliputi :
a. pemutakhiran data pemilih dan penyusunan daftar pemilih
b. pendaftaran peserta pemilu
c. penetapan peserta pemilu
d. penetapan jumlah kursi dan penetapan daerah pemilihan
e. pencalonan anggota DPRD,DPD,DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota.
f. masa kampanye
g.masa tenang
h.pemungutan dan penghitungan suara
i. penetapan hasil pemilu
j. pengucapan sumpah/janji anggota DPR,DPRD,DPRD provinsi , dan DPRD kabupaten/kota.

*Masalah Pemilu (hari ini)
1. persiapan pemilu 2009
àRUU penyelenggaraan pemilu? Persiapan tinggal 2 tahun 4 bulan. Bila KPU terbentuk April 2007 , maka tinggal 2 tahun . bandingkan dengan persiapan KPU dalam pemilu 2004 .KPU terbentuk 24 april 2001. (3 tahun menjelang pemilu)
2. Alokasi kursi DPR tergantung jumlah propinsi dan jumlah penduduk
à bagaimana dengan propinsi baru,atau yang akan lahir.
3.masalah penegakan hukum
à sanksi pidana maupun administrative tidak dijalankan maksimalàketidakpuasan atas hasil pemilu
4. Penyelenggara pemilu (KPU)
àterperangkap masalah korupsi,suap dan kapasitas terbatas/lemah.
      Perbedaan pokok antara sistem distrik dan proposional adalah cara penghitungan suara yang dapat menghailkan perbedaan dalam komposisi perwakilan dalam parlemen bagi masing masing partai politik.

III. Sistem pemilu yang pernah di terapkan di dunia

1.sistem Mayoritas/Pluralitas menghendaki kemenangan partai atau calon legislatif yang memperoleh suara terbanyak. Calon legislatif atau partai dengan suara yang kalah otomatis tersingkir begitu saja. Varian dari sistem Mayoritas/Plularitas adalah First Past The Post, Two Round System, Alternative Vote, Block Vote, dan Party Block Vote.

2.Sistem proporsional biasanya diminati di negara-negara dengan sistem kepartaian Plural ataupun multipartai (banyak partai). Meskipun kalah di suatu daerah pemilihan, calon legislatif ataupun partai politik dapat mengakumulasikan suara dari daerah-daerah pemilihan lain, sehingga memenuhi kuota guna mendapatkan kursi. Varian sistem Proporsional adalah Proporsional Daftar dan Single Transferable Vote.

3.Sistem Mixed (campuran) merupakan pemaduan antara sistem Proporsional dengan Mayoritas/Pluralitas. Kedua sistem pemilu tersebut berjalan secara beriringan.  Hal yang diambil adalah ciri-ciri positif dari masing-masing sistem.  Varian dari sistem ini adalahMixed Member Proportional dan Parallel.

4.Sistem Other/Lainnya adalah sistem-sistem pemilu yang tidak termasuk ke dalam 3 sistem sebelumnya. Varian dari sistem lainnya ini adalah Single No Transferable Vote (SNTV),Limited Vote, dan Borda Count.

IV. Sistem pemilu yang pernah berlaku di Indonesia

Pemilu 1955

Pemilu 1955 merupakan pemilu pertama yang diadakan oleh Republik Indonesia. Pemilu ini merupakan reaksi atas Maklumat Nomor X/1945 tanggal 3 Nopember 1945 dari Wakil Presiden Moh. Hatta, yang menginstruksikan pendirian partai-partai politik di Indonesia. Pemilu pun – menurut Maklumat – harus diadakan secepat mungkin. Namun, akibat belum siapnya aturan perundangan dan logistik (juga kericuhan politik dalam negeri seperti pemberontakan), Pemilu tersebut baru diadakan tahun 1955 dari awalnya direncanakan Januari 1946.

Landasan hukum Pemilu 1955 adalah Undan-undang Nomor 7 tahun 1953 yang diundangkan 4 April 1953. Dalam UU tersebut, Pemilu 1955 bertujuan memilih anggota bikameral: Anggota DPR dan Konstituante (seperti MPR). Sistem yang digunakan adalahproporsional. Menurut UU nomor 7 tahun 1953 tersebut, terdapat perbedaan sistem bilangan pembagi pemilih (BPP) untuk anggota konstituante dan anggota parlemen. Perbedaan-perbedaan tersebut adalah sebagai berikut:[3]
§   Jumlah anggota konstituante adalah hasil bagi antara total jumlah penduduk Indonesia dengan 150.000 dibulatkan ke atas;
§  Jumlah anggota konstituante di masing-masing daerah pemilihan adalah hasil bagi antara total penduduk WNI di masing-masing wilayah tersebut dengan 150.000; Jumlah anggota konstituante di masing-masing daerah pemilihan adalah bilangan bulat hasil pembagian tersebut; Jika kurang dari 6, dibulatkan menjadi 6; Sisa jumlah anggota konstituante dibagikan antara daerah-daerah pemilihan lainnya, seimbang dengan jumlah penduduk warganegara masing-masing;
§  Jika dengan cara poin ke dua di atas belum mencapai jumlah anggota konstituante seperti di poin ke satu, kekurangan anggota dibagikan antara daerah-daerah pemilihan yang memperoleh jumlah anggota tersedikit, masing-masing 1, kecuali daerah pemilihan yang telah mendapat jaminan 6 kursi itu
§  Penetapan jumlah anggota DPR seluruh Indonesia adalah total jumlah penduduk Indonesia dibagi 300.000 dan dibulatkan ke atas;
§  Jumlah anggota DPR di masing-masing daerah pemilihan adalah hasil bagi antara total penduduk WNI di masing-masing wilayah tersebut dengan 300.000; Jumlah anggota DPR di masing-masing daerah pemilihan adalah bilangan bulat hasil pembagian tersebut; Jika kurang dari 3, dibulatkan menjadi 3; Sisa jumlah anggota DPR dibagikan antara daerah-daerah pemilihan lainnya, seimbang dengan jumlah penduduk warganegara masing-masing;
§  Jika dengan cara poin ke lima di atas belum mencapai jumlah anggota DPR seperti di poin ke empat, kekurangan anggota dibagikan antara daerah-daerah pemilihan memperoleh jumlah anggota tersedikit, masing-masing 1, kecuali daerah pemilihan yang telah mendapat jaminan 3 kursi itu.


Pemilu 1955, sebab itu, ada dua putaran. Pertama untuk memilih anggota DPR pada tanggal 29 September 1955.[4] Kedua untuk memilih anggota Konstituante pada tanggal 15 Desember 1955. Pemilu untuk memilih anggota DPR diikuti 118 parpol atau gabungan atau perseorangan dengan total suara 43.104.464 dengan 37.785.299 suara sah. Sementara itu, untuk pemilihan anggota Konstituante, jumlah suara sah meningkat menjadi 37.837.105 suara. 

Pemilu 1971

Pemilu 1971 diadakan tanggal 3 Juli 1971. Pemilu ini dilakukan berdasarkan Undang-undang Nomor 15 Tahun 1969 tentang Pemilu dan Undang-undang Nomor 16 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR dan DPRD. Pemilu ditujukan memilih 460 anggota DPR dimana 360 dilakukan melalui pemilihan langsung oleh rakyat sementara 100 orang diangkat dari kalangan angkatan bersenjata dan golongan fungsional oleh Presiden.

Untuk pemilihan anggota DPR dan DPRD digunakan sistem perwakilan berimbang (proporsional) dengan stelsel daftar. Pemilu diadakan di 26 provinsi Indonesia.[5] Rakyat pemilih mencoblos tanda gambar partai. Untuk memilih anggota DPR daerah pemilihannya adalah Daerah Tingkat I (provinsi) dan sekurang-kurangnya 400.000 penduduk memiliki satu orang wakil dengan memperhatikan bahwa setiap provinsi minimal memiliki wakil minimal sejumlah daerah tingkat II (kabupaten/kota) di wilayahnya. Setiap daerah tingkat II minimal punya satu orang wakil.

Dalam Pemilu 1971, total pemilih terdaftar adalah 58.179.245 orang dengan suara sah mencapai 54.699.509 atau 94% total suara.[6] Dari total 460 orang anggota parlemen yang diangkat presiden, 75 orang berasal dari angkatan bersenjata sementara 25 dari golongan fungsional seperti tani, nelayan, agama, dan sejenisnya. Dari ke-25 anggota golongan fungsional kemudian bergabung dengan Sekber Golkar sehingga kursi Golkarmeroket hingga ke angka 257 (dari 232 ditambah 25). Dari 460 orang anggota parlemen, jumlah anggota berjenis kelamin laki-laki 426 dan perempuan 34 orang.


Pemilu 1977

Dasar hukum Pemilu 1977 adalah Undang-undang No. 4 Tahun 1975.[7] Pemilu ini diadakan setelah fusi partai politik dilakukan pada tahun 1973. Sistem yang digunakan pada pemilu 1977 serupa dengan pada pemilu 1971 yaitu sistem proporsional dengan daftar tertutup. Pemilu 1977 diadakan secara serentak tanggal 2 Mei 1977. Pemilu 1977 ditujukan guna memiliki parlemen unicameral yaitu DPR di mana 360 orang dipilih lewat pemilu ini sementara 100 orang lainnya diangkat oleh Presiden Suharto.

Persyaratan untuk ikut serta sebagai pemilih adalah berusia sekurangnya 17 tahun atau pernah menikah, kecuali mereka yang menderita kegilaan, eks PKI ataupun organisasi yang berkorelasi dengannya, juga narapidana yang terkena pidana kurung minimal 5 tahun tidak diperbolehkan ikut serta. Sementara itu, kandidat yang boleh mencalonkan diri sekurang berusia 21 tahun, lancar berbahasa Indonesia, mampu baca-tulis latin, sekurangnya lulusan SMA atau sederajat, serta loyal kepada Pancasila sebagai ideologi negara. Votingdilakukan di 26 provinsi dengan sistem proporsional daftar partai (party list system).[8] 

Jumlah pemilih yang terdaftar 70.662.155 orang sementara yang menggunakan hak pilihnya 63.998.344 orang atau meliputi 90,56%. Sekber Golkar beroleh suara 39.750.096 (62,11%) dan memperoleh 232 kursi. PPP beroleh suara 18.743.491 (29,29%) dan memperoleh 99 kursi. PDI beroleh 5.504.757 suara (8,60%) dan memperoleh 29 kursi. Sementara itu, kursi jatah ABRI adalah 75 kursi dan golongan fungsional 25 kursi. Golongan fungsional lalu menggabungkan diri ke dalam sekber Golkar sehingga kursi untuk Golkar bertambah menjadi 257 kursi. Anggota parlemen laki-laki 426 orang sementara perempuan 34 orang (7,40%).

Pemilu 1982
Pemilu 1982 diadakan tanggal 4 Mei 1982. Tujuannya sama seperti Pemilu 1977 di mana hendak memilih anggota DPR (parlemen). Hanya saja, komposisinya sedikit berbeda. Sebanyak 364 anggota dipilih langsung oleh rakyat, sementara 96 orang diangkat oleh presiden. Pemilu ini dilakukan berdasarkan Undang-undang No. 2 tahun 1980.[9] 

Voting dilakukan di 27 daerah pemilihan berdasarkan sistem Proporsional dengan Daftar Partai (Party-List System). Partai yang beroleh kursi berdasarkan pembagian total suara yang didapat di masing-masing wilayah pemilihan dibagi electoral quotient di masing-masing wilayah. Jumlah total pemilih terdaftar adalah 82.132.263 orang dengan jumlah suara sah mencapai 74.930.875 atau 91,23%. Golkar beroleh 48.334.724 suara (58,44%) sehingga berhak untuk mendapat 246 kursi parlemen. PPP beroleh 20.871.880 suara (25,54%) sehingga berhak untuk mendapat 94 kursi parlemen. PDI beroleh 5.919.702 suara (7,24%) sehingga berhak mendapat 24 kursi parlemen. Anggota DPR yang diangkat Presiden Suharto berasal dari ABRI sejumlah 75 orang dan golongan fungsional sebanyak 21 orang. Golongan fungsional lalu bergabung dengan Golkar sehingga kursi parlemen Golkar naik menjadi 267 kursi.[10] Dari 360 anggota parlemen, yang berjenis kelamin laki-laki sejumlah 422 dan perempuan 38 orang.

Pemilu 1987
Pemilu 1987 diadakan tanggal 23 April 1987. Tujuan pemilihan sama dengan pemilu sebelumnya yaitu memilih anggota parlemen. Total kursi yang tersedia adalah 500 kursi. Dari jumlah ini, 400 dipilih secara langsung dan 100 diangkat oleh Presiden Suharto. Sistem Pemilu yang digunakan sama seperti pemilu sebelumnya, yaitu Proporsional dengan varian Party-List.

Total pemilih yang terdaftar adalah sekitar 94.000.000 dengan total suara sah mencapai 85.869.816 atau 91,30%.[11] Golkar beroleh 62.783.680 suara (73,16%) sehingga berhak atas 299 kursi parlemen. PPP beroleh 13.701.428 suara (15,97%) sehingga berhak atas 61 kursi parlemen. PDI beroleh 9.384.708 suara (10,87%) sehingga berhak atas 40 kursi parlemen. Jumlah anggota parlemen dari ABRI yang diangkat Presiden Suharto berjumlah 75 orang (kursi) sementara dari golongan fungsional 25 orang (kursi).  Jumlah anggota parlemen yang berjenis kelamin laki-laki adalah 443 sementara yang perempuan 57 orang. Sementara itu, jumlah anggota parlemen berusia 21-30 tahun adalah 5 orang, 31-40 tahun 38 orang, 41-50 tahun 173 orang, 51-60 tahun 213 orang, 61-70 tahun 70 orang, dan 71-80 tahun 1 orang.

Pemilu 1992
Pemilu 1992 diadakan tanggal 9 Juni 1992 dengan dasar hukum Sistem Pemilu yang digunakan sama seperti pemilu sebelumnya yaitu Proporsional dengan varian Party-List. Tujuan Pemilu 1992 adalah memilih secara langsung 400 kursi DPR. Total pemilih yang terdaftar adalah 105.565.697 orang dengan total suara sah adalah 97.789.534.[12]  Untuk hasil Pemilu 1992, Golkar beroleh 66.599.331 suara (68,10%) sehingga berhak atas 282 kursi parlemen. PPP beroleh 16.624.647 suara (17,01%) sehingga berhak atas 62 kursi parlemen. PDI beroleh 14.565.556 suara (10,87%) sehingga berhak atas 56 kursi parlemen. Presiden Suharto mengangkat 75 orang (kursi) untuk ABRI dan 25 orang (kursi) untuk golongan fungsional.

Komposisi anggota DPR totalnya adalah 500 orang. Dari jumlah tersebut yang berjenis kelamin laki-laki adalah 439 orang sementara perempuan 61 orang. Di sisi lain, kisaran usia anggota DPR ini adalah 21-30 tahun 3 orang; 31-40 tahun 45 orang; 41-50 tahun 144 orang; 51-65 tahun 287 orang; dan di atas 65 tahun 21 orang.

Pemilu 1997
Pemilu 1997 merupakan Pemilu terakhir di masa administrasi Presiden Suharto. Pemilu ini diadakan tanggal 29 Mei 1997. Tujuan pemilu ini adalah memilih 424 orang anggota DPR. Sistem pemilu yang digunakan adalah Proporsional dengan varian Party-List. Pada tanggal 7 Maret 1997, sebanyak 2.289 kandidat (caleg) telah disetujui untuk bertarung guna memperoleh kursi parlemen.[13] Hasil Pemilu 1997 adalah Golkar beroleh 84.187.907 suara (74,51%) sehingga berhak atas 325 kursi parlemen. PPP beroleh 25.340.028 suara (22,43%) sehingga berhak atas 89 kursi parlemen. PDI beroleh 3.463.225 suara (3,06%) sehingga berhak atas 11 kursi parlemen. Anggota parlemen yang diangkat Presiden Suharto hanya dari ABRI saja yaitu 75 orang (kursi). Total anggota parlemen 500 orang.

Pemilu 1997 ini menuai sejumlah protes. Di Kabupaten Sampang, Madura, puluhan kotak suara dibakar massa oleh sebab kecurangan Pemilu dianggap sudah keterlaluan. Sementara itu, PDI mengalami penurunan suara signifikan akibat intervensi pemerintah terhadap kepemimpinan partai. Megawati Sukarnoputri dihabisi secara politik dengan cara pemerintah mendukung pimpinan tandingan Suryadi dan Fatimah Ahmad.

Dari 500 anggota DPR, yang berjenis kelamin laki-laki adalah 443 orang sementara perempuan adalah 57 orang. Distribusi anggota DPR yang berusia 21-30 tahun 3 orang; 31-40 tahun 51 orang; 41-50 tahun 134 orang; 51-65 orang 310 orang; dan di atas 65 tahun 2 orang.


Pemilu 1999
Pemilu 1999 adalah pemilu pertama pasca kekuasaan presiden Suharto. Pemilu ini diadakan di bawah kepemimpinan Presiden B.J. Habibie. Pemilu ini terselenggara di bawah sistem politik Demokrasi Liberal. Artinya, jumlah partai peserta tidak lagi dibatasi seperti pemilu-pemilu lalu yang hanya terdiri dari Golkar, PPP, dan PDI.

Sebelum menyelenggarakan Pemilu, pemerintahan B.J. Habibie mengajukan tiga rancangan undang-undang selaku dasar hukum dilangsungkannya pemilu 1999, yaitu RUU tentang Partai Politik, RUU tentang Pemilu, dan RUU tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, dan DPRD. Ketiga RUU ini diolah oleh Tim Tujuh yang diketuai Profesor Ryaas Rasyid dariInstitut Ilmu Pemerintahan. Setelah disetujui DPR, barulah pemilu layak dijalankan. Pemilu 1999 diadakan berdasarkan Undang-undang Nomor 3 tahun 1999 tentang Pemilihan Umum. Sesuai pasal 1 ayat (7) pemilu 1999 dilaksanakan dengan menggunakan sistem proporsional berdasarkan stelsel daftar dengan varian Roget.[14] 

Dalam pemilihan anggota DPR, daerah pemilihannya (selanjutnya disingkat Dapil) adalah Dati I (provinsi), pemilihan anggota DPRD I dapilnya Dati I (provinsi) yang merupakan satu daerah pemilihan, sementara pemilihan anggota DPRD II dapilnya Dati II yang merupakan satu daerah pemilihan. Jumlah kursi anggota DPR untuk tiap daerah pemilihan ditetapkan berdasarkan jumlah penduduk Dati I dengan memperhatikan bahwa Dati II minimal harus mendapat 1 kursi yang penetapannya dilakukan oleh KPU.

Undang-undang Nomor 3 tahun 1999 juga menggariskan bahwa jumlah kursi DPRD I minimal 45 dan maksimal 100 kursi. Jumlah kursi tersebut ditentukan oleh besaran penduduk. Provinsi dengan jumlah penduduk hingga 3.000.000 jiwa mendapat 45 kursi. Provinsi dengan jumlah penduduk 3.000.001 – 7.000.000 mendapat 55 kursi. Provinsi dengan jumlah penduduk 5.000.001 – 7.000.000 mendapat 65 kursi. Provinsi dengan jumlah penduduk 7.000.001 – 9.000.000 mendapat 75 kursi. Provinsi dengan jumlah penduduk 9.000.001 – 12.000.000 mendapat 85 kursi. Sementara itu, provinsi dengan jumlah penduduk di atas 12.000.000 mendapat 100 kursi.

Undang-undang juga mengamanatkan bahwa untuk Dati II (kabupaten/kota) minimal mendapat 1 kursi untuk anggota DPRD I lewat penetapan KPU. Dati II berpenduduk hingga 100.000 mendapat 20 kursi. Dati II berpenduduk 100.001 – 200.000 mendapat 25 kursi. Dati II berpenduduk 200.001 – 300.000 mendapat 30 kursi. Dati II berpenduduk 300.001 – 400.000 mendapat 35 kursi. Dati II berpenduduk 400.001 – 500.000 mendapat 40 kursi. Sementara itu, untuk Dati II berpenduduk di atas 500.000 mendapat 45 kursi. Setiap kecamatan minimal harus diwakili oleh 1 kursi di DPRD II. KPU adalah pihak yang memutuskan penetapan perolehan jumlah kursi.

Jumlah partai yang terdaftar di Kementrian Hukum dan HAM adalah 141 partai, sementara yang lolos verifikasi untuk ikut Pemilu 1999 adalah 48 partai. Pemilu 1999 diadakan tanggal 7 Juni 1999. Namun, tidak seperti pemilu-pemilu sebelumnya, Pemilu 1999 mengalami hambatan dalam proses perhitungan suara. Terdapat 27 partai politik yang tidak bersedia menandatangani berkas hasil pemilu 1999 yaitu: Partai Keadilan, PNU, PBI, PDI, Masyumi, PNI Supeni, Krisna, Partai KAMI, PKD, PAY, Partai MKGR, PIB, Partai SUNI, PNBI, PUDI, PBN, PKM, PND, PADI, PRD, PPI, PID, Murba, SPSI, PUMI, PSP, dan PARI.[15] 

Karena penolakan 27 partai politik ini, KPU menyerahkan keputusan kepada Presiden. Presiden menyerahkan kembali penyelesaian persoalan kepada Panitia Pengawas Pemilu (selanjutnya disingkat Panwaslu. Rekomendasi Panwaslu adalah, hasil Pemilu 1999 sudah sah, ditambah kenyataan partai-partai yang menolak menandatangani hasil tidak menyertakan point-point spesifik keberatan mereka. Sebab itu, Presiden lalu memutuskan bahwa hasil Pemilu 1999 sah dan masyarakat mengetahui hasilnya tanggal 26 Juli 1999.

Masalah selanjutnya adalah pembagian kursi. Sistem Pemilu yang digunakan adalahProporsional dengan varian Party-List. Masalah yang muncul adalah pembagian kursi sisa. Partai-partai beraliran Islam melakukan stembus-accord (penggabungan sisa suara) menurut hitungan Panitia Pemilihan Indonesia (PPI) hanya beroleh 40 dari 120 kursi. Di sisi lain, 8 partai beraliran Islam yang melakukan stembus-accord tersebut mengklaim mampu memperoleh 53 dari 120 kursi sisa.

Perbedaan pendapat ini lalu diserahkan PPI kepada KPU. KPU, di depan seluruh partai politik peserta pemilu 1999 menyarankan votingVoting ini terdiri atas dua opsi. Pertama, pembagian kursi sisa dihitung dengan memperhatikan suara stembus-accordKedua, pembagian tanpa stembus-accord. Hasilnya, 12 suara mendukung opsi pertama, dan 43 suara mendukung opsi kedua. Lebih dari 8 partai melakukan walk-out. Keputusannya, pembagian kursi dilakukan tanpa stembus-accord. Penyelesaian sengketa hasil pemilu dan perhitungan suara ini masih dilakukan oleh badan-badan penyelenggara pemilu karena Mahkamah Konstitusi belum lagi terbentuk.

Total jumlah suara partai yang tidak menghasilkan kursi 9.700.658 atau meliputi 9,17% suara sah. Hasil ini diperoleh dengan menerapkan sistem pemilihan Proporsional dengan Varian Roget. Dalam sistem ini, sebuah partai memperoleh kursi seimbang dengan suara yang diperolehnya di daerah pemilihan, termasuk perolehan kursi berdasarkan the largest remainder (sisa kursi diberikan kepada partai-partai yang  punya sisa suara terbesar).

Perbedaan antara Pemilu 1999 dengan Pemilu 1997 adalah bahwa pada Pemilu 1999 penetapan calon terpilih didasarkan pada rangking perolehan suara suatu partai di daerah pemilihan. Jika sejak Pemilu 1971 calon nomor urut pertama dalam daftar partai otomatis terpilih bila partai itu mendapat kursi, maka pada Pemilu 1999 calon terpilih ditetapkan berdasarkan suara terbesar atau terbanyak dari daerah di mana seseorang dicalonkan. Contohnya, Caleg A meski berada di urutan terbawah daftar caleg, jika dari daerahnya ia dan partainya mendapatkan suara terbesar, maka dia-lah yang terpilih. Untuk penetapan caleg terpilih berdasarkan perolehan suara di Daerah Tingkat II (kabupaten/kota), Pemilu 1999 ini sama dengan metode yang digunakan pada Pemilu 1971.

Dari total 500 anggota DPR yang dipilih, sebanyak 460 orang berjenis kelamin laki-laki dan hanya 40 orang yang berjenis kelamin perempuan. Sebab itu, persentase anggota DPR yang berjenis kelamin perempuan hanya meliputi 8% dari total.



Pemilu 2004
Pemilu 2004 merupakan sejarah tersendiri bagi pemerintah dan rakyat Indonesia. Di pemilu 2004 ini, untuk pertama kali rakyat Indonesia memilih presidennya secara langsung. Pemilu 2004 sekaligus membuktikan upaya serius mewujudkan sistem pemerintahan Presidensil yang dianut oleh pemerintah Indonesia.

Pemilu 2004 menggunakan sistem pemilu yang berbeda-beda, bergantung untuk memilih siapa. Dalam pemilu 2004, rakyat Indonesia memilih presiden, anggota parlemen (DPR, DPRD I, dan DPRD II), serta DPD (Dewan Perwakilan Daerah). Untuk ketiga maksud pemilihan tersebut, terdapat tiga sistem pemilihan yang berbeda.

Sistem pemilu yang digunakan adalah Proporsional dengan Daftar Calon Terbuka. Proporsional Daftar adalah sistem pemilihan mengikuti jatah kursi di tiap daerah pemilihan. Jadi, suara yang diperoleh partai-partai politik di tiap daerah selaras dengan kursi yang mereka peroleh di parlemen.

Untuk memilih anggota parlemen, digunakan sistem pemilu Proporsional dengan varian Proporsional Daftar (terbuka). Untuk memilih anggota DPD, digunakan sistem pemilu Lainnya, yaitu Single Non Transverable Vote (SNTV). Sementara untuk memilih presiden, digunakan sistem pemilihan Mayoritas/Pluralitas dengan varian Two Round System (Sistem Dua Putaran).





















                                               BAB III
                                             PENUTUP


I.KESIMPULAN
    
     Sitem pemilu merupakan suatu kegiatan yang sangat menarik di kalangan mayarakat . sistem pemilu bisa juga di katakana alat untuk memilih perwakilan DPR yang pas . sistem pemilu juga di rumuskan sebagai proses pemilihan perwakilan DPR/D yang memang pas.

       Di Indonesia sudah ada 9 kali menyelenggarakan pemilihan umum sejak kemerdekaan Indonesia . sistem pemilu yang dianut Indonesia adalah sistem pemilihan proporsional , adanya usulan pemilu paska soeharto yang tetap menggunakan sistem proporsional. Adanya usulan sistem pemilu distrik tetapi di tolak. Dengan alasan bahwa sistem pemilu proporsional lebih pas di Indonesia. Hal ini berkaitan dengan tingkat kemajemukan di Indonesia. Adanya kekhawatiran jika menggunakn distrik karena aka nada kelompok kelompok yang tidak terwakili khususnya masyarakat kecil. Sitem proporsional juga banyak di setujui oleh DPR , karena sistem ini lebih mengutungkan. Bisa saja sistem proporsional ini akan di gunakan selamanya di Indonesia. Karena tidak mudah untuk mengganti sistem pemilu di suatu Negara kecuali perubahan politik yang radikal . Di Indonesia sendiri sistem pemilu sudah mengalami perubahan dari sistem tertutup menjadi sistem proporsional semi daftar terbuka dan sistem proporsional terbuka.
            
      Pasca pemerintahan Soeharto terdapat perubahan sistem pemilu yaitu terjadinya modifikasi sistem proporsional Indonesia , dari proporsional tertutup menjadi proporsional semi daftar terbuka . dilihat dari perubahan yang terjadi pada tahun 1999 dengan orde baru. Masa orde baru yang menjadi pilihan nya yaitu provinsi sedangkan pada tahun 1999 provinsi itu masih daerah pilihan tetapi telah menjadi pertimbangan kabupaten kota dan alokasi dari partai dengan perolehan suara. Pada pemilu tahun 2004 daerah pemilihan tidak lagi provinsi akan tetapi daerah yang lebih kecil lagi walaupun ada daerah pemilihan yang mencakup satu provinsi seperti Riau ,Jambi  ,Bengkulu ,Bangka Belitung, Kepri ,yogykarta , bali semua provinsi di Kalimantan , Sulawesi utara dan tenggara , gorontalo, Maluku , Maluku utara, papua dan irian jaya barat. Masing masing pilihan mendapatkan 3-12 kursi. Pada pemilu besaran daerah pemilihan                      untuk DPR diperkecil 3-10.pada pemilu 1999 dan orde baru para pemilih cukup memilih tanda gambar peserta pemilu. pada tahun 2004 para pemilih boleh coblos tanda gambar kontestan pemilu dan calonnya. Agar pemilih dapat mengenal calonnya dan menentukan siapa yang menjadi wakil DPR dan dapat memberikan calon yang tidak ada nomor atas untuk terpilih asalkan memenuhi jumlah bilangan pembagi pemilih (BPP) . Di katakan perubahan proporsional ini semi daftar terbuka karena penentuan atau pemilihan siapa yang akan mewakili partai di dalam perolehan kursi DPR/D tidak didasarkan perolehan suara terbanyak tetapi nomor urut .

      Sistem proporsional semi daftar terbuka pada dasarnya merupakan hasil sebuah kompromi dalam pembahasan RUU mengenai hasil pemilu pada 2002 PDIP,GOLKAR,PPP jelas jelas menolak sistem daftar terbuka karena penentuan caleg adalah hak partai peserta pemilu. Memang jika diberlakukannya sistemdaftar terbuka akan mengurangi otoritas partai dalam menyeleksi caleg yang cocok duduk di kursi DPR/D. Tetapi akhirnya ketiga partai itu menyetujui perubahan tetapi tidak terbuka secara bebas melainkan setengah saja.


II.Saran


       Bagi para pembaca dan rekan-rekan yang lainnya, jika ingin menambah wawasan dan ingin mengetahui lebih jauh, maka penulis mengharapkan dengan rendah hati agar lebih membaca buku-buku ilmiah dan buku-buku lainnya yang berkaitan dengan judul “ SISTEM POLITIK INDONESIA”. Kritik dan saran yang bersifat membangun selalu kami harapkan demi perbaikan dan   kesempurnaan Makalah kami.Jadikanlah makalah ini sebagai sarana yang dapat mendorong para mahasiswa/i berfikir aktif dan kreatif.















                                 DAFTAR PUSTAKA

Budiardjo Miriam, 2008, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta, PT Gramedia Pustaka Utama.
Marijan Kacung, 201







 


Sistem Pemilu Indonesia



                                                            BAB I
                                                            PENDAHULUAN


A.LATAR BELAKANG
         Pemilihan Umum adalah suatu kegiatan politik yang sangat menarik di lingkungan sosial . Pemilihan Umum merupakan salah satu alat dan sarana pelaksanaan kedaulatan yang mendasar pada demokrasi perwakilan di negara. Pemilihan umum juga dapat dirumuskan sebagai mekanisme penyeleksian dan pendelegasian atau penyerahan kedaulatan kepada seseorang calon atau partai yang dipercayai melalui perolehan suara dari masyarakat . Dalam suatu lembaga perwakilan rakyat, seperti DPR atau DPRD, sistem pemilihan ini bisa berupa seperangkat metode untuk mentransfer suara pemilih kedalam suatu kursi dilembaga legislatif atau parlemen. Tetapi , ketika pemilihan itu terjadi pada seorang calon anggota legislatif, sistem pemilihan itu bisa berwujud seperangkat metode untuk menentukan seorang pemenang berdasarkan jumlah suara yang diperolehnya. Singkatnya  , sistem pemilihan ini berkaitan dengan cara pemberian suara, penghitungan suara, dan pembagian kursi.
       Sistem pemilu di Indonesia tidak terlepas dari fungsi rekrutmen dalam sistem politik. Mengenai sistem pemilu Norris menjelaskan bahwa rekrutmen seorang kandidat oleh partai politik bergantung pada sistem pemilu yang berkembang di suatu negara. Di Indonesia, pemilihan legislatif (DPR, DPRD I, dan DPRD II) menggunakan sistem proporsional dengan daftar terbuka. Lewat sistem semacam ini, partai-partai politik cenderung mencari kandidat yang populer sehingga punya daya tarik yang tinggi di mata para pemilih. Hal ini pula yang mendorong banyak artis (sinetron, lawak, penyanyi) yang tertarik untuk bergabung ke dalam sebuah partai politik.

       Setiap sistem pemilu, yang biasanya diatur dalam peraturan perundang – undangan setidak – tidaknya mengandung  tiga variabel pokok, yaitu penyuaran, distrik pemilihan, dan formula pemilihan. Sebagaimana dinyatakan dalam Undang – Undang Pemilu, tujuan dari sistem pemilu adalah melaksanakan kedaulatan Rakyat (Ps. 1 ayat 1) dan membentuk pemerintahan perwakilan (Ps 1 ayat 3 dan 4 ). Suatu ketentuan yang sejalan dengan prinsip demokrasi universal. Akan tetapi di dalam pengoperasiannya, penguasa menjuruskan tujuan tersebut untuk membangun legitimasi bagi suatu pemerintah yang stabil dan kuat melalui mobilisasi politik. Maka operasi pemilu secara demokratis yakni menyeimbangkan tujuan operasional tersebut dengan penggunaanya sebagai alat perjuangan kepentingan rakyat melalui pertisipasi politik dan sosialisasi politik, menjadi terabaikan alam.






B .Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan sistem pemilu Indonesia?
2. Bagaimana pengaturan pemilu dalam UUD 1945 ?
3. Apa saja sistem pemilu yang pernah berlaku di dunia?
4. Apa saja sistem pemilu yang berlaku di Indonesia ?
C.Tujuan
1.Untuk memenuhi kewajiban penulis dalam menyelesaikan tugas Sistem Pemilu Indonesia
2.Untuk mengetahui bagimana sistem pemilu
3.Untuk menambah wawasan baik penulis maupun pembaca mengenai sistem pemilu di Indonesia.






















                                         
BAB II
                                 PEMBAHASAN


I.PENGERTIAN SISTEM PEMILU INDONESIA

    
pemilihan umum merupakan sarana , alat atau mediasi untuk pelaksanaan kedaulatan rakyat yang dilaksanakan secara langsung , umum , bebas , rahsia , jujur , dan adil dalam NKRI berdasarkan pancasila dan UUD1945 . Pemilu harus di laksanakan secara efektif dan efisien berdasarkan asas langsung , umum , bebas , rahasia , jujur dan adil .

      Sistem pemilu dibagi dua yaitu :
      1. Sistem perwakilan distrik
à single member constituency
      2. Sistem perwakilan berimbang
à multi member constituency

1. A. Sistem perwakilan distrik yaitu
   -. sistem yang di tentukan atas kesatuan geografis di mana setiap geografis / distrik                 hanya mewakili satu wakil .
   -. jumlah distrik yang di bagi ama dengan jumlah satu permanen .
    B. Sistem perwakilan Distrik
      Kelemahan :
    - kurang memperhatikan partai kecil / minoritas
    - kurang represiantif karena calon yang kalah kehilangan suara pendukung nya
     
      Kelebihan :
    - calon yang di pilih di kenal baik karena batas distrik
    - mendorong kearah integrasi parpol , karena hanya memperebutkan satu wakil .
    - sederhana dan mudah di laksanakan
    - berkurangnya parpol memudahkan pemerintahan yang lebih stabil
à integrasi

2. A. Sistem Perwakilan Proporsional
    - jumlah kursi yang di peroleh sesuai dengan jumlah suara yang di peroleh
    - wilayah Negara dibagi-bagi ke dalam daerah-daerah tetapi batas-batas nya lebih                      besar dari pada sistem distrik
    -  kelebihan suara dari jatah satu kursi bisa di kompensasikan dengan kelebihan daerah lain
    - Terkadang,dikombinasikan dengan sistem daftar , diamana daftar calon disusun berdasarkan peringkat .
    B.Sistem perwakilan Proporsional
    Kelemahan
  - mempermudah fragmentasi dan timbulnya partai partai baru
  - wakil lebih terikat dan loyal dengan partai daripada rakyat atau daerah yang di wakilinya
  - banyaknya partai bia mempersulit terbentuknya pemerintah stabil
 
    Kelebihan
  - setiap suara dihitung , dan yang kalah suaranya dikompensasikan sehingga tidak ada suara yang hilang

II. BAGAIMANA PENGATURAN PEMILU DALAM UUD 1945

- pasal 18 ayat 3 à pemerintahan daerah provinsi , daerah , kabupaten , dan kota memiliki DPRD yang anggota anggota nya dipilih melalui PEMILU .
- pasal 19 ayat 1
à anggota DPR dipilih melalui PEMILU
- pasal 22C ayat 1
à anggota DPD dipilih dari setiap provinsi melalui PEMILU. Ayat 2 Jumlahnya sama dan jumlah seluruh anggota DPD itu tidak lebih dari sepertiga anggota DPD itu tidak lebih dari sepertiga jumlah anggota DPR.
- pasar 22E
à PEMILU.

-.Pemilu dalam UU No.10 Tahun 2008
   tahapan penyelenggaraan pemilu meliputi :
a. pemutakhiran data pemilih dan penyusunan daftar pemilih
b. pendaftaran peserta pemilu
c. penetapan peserta pemilu
d. penetapan jumlah kursi dan penetapan daerah pemilihan
e. pencalonan anggota DPRD,DPD,DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota.
f. masa kampanye
g.masa tenang
h.pemungutan dan penghitungan suara
i. penetapan hasil pemilu
j. pengucapan sumpah/janji anggota DPR,DPRD,DPRD provinsi , dan DPRD kabupaten/kota.

*Masalah Pemilu (hari ini)
1. persiapan pemilu 2009
àRUU penyelenggaraan pemilu? Persiapan tinggal 2 tahun 4 bulan. Bila KPU terbentuk April 2007 , maka tinggal 2 tahun . bandingkan dengan persiapan KPU dalam pemilu 2004 .KPU terbentuk 24 april 2001. (3 tahun menjelang pemilu)
2. Alokasi kursi DPR tergantung jumlah propinsi dan jumlah penduduk
à bagaimana dengan propinsi baru,atau yang akan lahir.
3.masalah penegakan hukum
à sanksi pidana maupun administrative tidak dijalankan maksimalàketidakpuasan atas hasil pemilu
4. Penyelenggara pemilu (KPU)
àterperangkap masalah korupsi,suap dan kapasitas terbatas/lemah.
      Perbedaan pokok antara sistem distrik dan proposional adalah cara penghitungan suara yang dapat menghailkan perbedaan dalam komposisi perwakilan dalam parlemen bagi masing masing partai politik.

III. Sistem pemilu yang pernah di terapkan di dunia

1.sistem Mayoritas/Pluralitas menghendaki kemenangan partai atau calon legislatif yang memperoleh suara terbanyak. Calon legislatif atau partai dengan suara yang kalah otomatis tersingkir begitu saja. Varian dari sistem Mayoritas/Plularitas adalah First Past The Post, Two Round System, Alternative Vote, Block Vote, dan Party Block Vote.

2.Sistem proporsional biasanya diminati di negara-negara dengan sistem kepartaian Plural ataupun multipartai (banyak partai). Meskipun kalah di suatu daerah pemilihan, calon legislatif ataupun partai politik dapat mengakumulasikan suara dari daerah-daerah pemilihan lain, sehingga memenuhi kuota guna mendapatkan kursi. Varian sistem Proporsional adalah Proporsional Daftar dan Single Transferable Vote.

3.Sistem Mixed (campuran) merupakan pemaduan antara sistem Proporsional dengan Mayoritas/Pluralitas. Kedua sistem pemilu tersebut berjalan secara beriringan.  Hal yang diambil adalah ciri-ciri positif dari masing-masing sistem.  Varian dari sistem ini adalahMixed Member Proportional dan Parallel.

4.Sistem Other/Lainnya adalah sistem-sistem pemilu yang tidak termasuk ke dalam 3 sistem sebelumnya. Varian dari sistem lainnya ini adalah Single No Transferable Vote (SNTV),Limited Vote, dan Borda Count.

IV. Sistem pemilu yang pernah berlaku di Indonesia

Pemilu 1955

Pemilu 1955 merupakan pemilu pertama yang diadakan oleh Republik Indonesia. Pemilu ini merupakan reaksi atas Maklumat Nomor X/1945 tanggal 3 Nopember 1945 dari Wakil Presiden Moh. Hatta, yang menginstruksikan pendirian partai-partai politik di Indonesia. Pemilu pun – menurut Maklumat – harus diadakan secepat mungkin. Namun, akibat belum siapnya aturan perundangan dan logistik (juga kericuhan politik dalam negeri seperti pemberontakan), Pemilu tersebut baru diadakan tahun 1955 dari awalnya direncanakan Januari 1946.

Landasan hukum Pemilu 1955 adalah Undan-undang Nomor 7 tahun 1953 yang diundangkan 4 April 1953. Dalam UU tersebut, Pemilu 1955 bertujuan memilih anggota bikameral: Anggota DPR dan Konstituante (seperti MPR). Sistem yang digunakan adalahproporsional. Menurut UU nomor 7 tahun 1953 tersebut, terdapat perbedaan sistem bilangan pembagi pemilih (BPP) untuk anggota konstituante dan anggota parlemen. Perbedaan-perbedaan tersebut adalah sebagai berikut:[3]
§  Jumlah anggota konstituante adalah hasil bagi antara total jumlah penduduk Indonesia dengan 150.000 dibulatkan ke atas;
§  Jumlah anggota konstituante di masing-masing daerah pemilihan adalah hasil bagi antara total penduduk WNI di masing-masing wilayah tersebut dengan 150.000; Jumlah anggota konstituante di masing-masing daerah pemilihan adalah bilangan bulat hasil pembagian tersebut; Jika kurang dari 6, dibulatkan menjadi 6; Sisa jumlah anggota konstituante dibagikan antara daerah-daerah pemilihan lainnya, seimbang dengan jumlah penduduk warganegara masing-masing;
§  Jika dengan cara poin ke dua di atas belum mencapai jumlah anggota konstituante seperti di poin ke satu, kekurangan anggota dibagikan antara daerah-daerah pemilihan yang memperoleh jumlah anggota tersedikit, masing-masing 1, kecuali daerah pemilihan yang telah mendapat jaminan 6 kursi itu
§  Penetapan jumlah anggota DPR seluruh Indonesia adalah total jumlah penduduk Indonesia dibagi 300.000 dan dibulatkan ke atas;
§  Jumlah anggota DPR di masing-masing daerah pemilihan adalah hasil bagi antara total penduduk WNI di masing-masing wilayah tersebut dengan 300.000; Jumlah anggota DPR di masing-masing daerah pemilihan adalah bilangan bulat hasil pembagian tersebut; Jika kurang dari 3, dibulatkan menjadi 3; Sisa jumlah anggota DPR dibagikan antara daerah-daerah pemilihan lainnya, seimbang dengan jumlah penduduk warganegara masing-masing;
§  Jika dengan cara poin ke lima di atas belum mencapai jumlah anggota DPR seperti di poin ke empat, kekurangan anggota dibagikan antara daerah-daerah pemilihan memperoleh jumlah anggota tersedikit, masing-masing 1, kecuali daerah pemilihan yang telah mendapat jaminan 3 kursi itu.


Pemilu 1955, sebab itu, ada dua putaran. Pertama untuk memilih anggota DPR pada tanggal 29 September 1955.[4] Kedua untuk memilih anggota Konstituante pada tanggal 15 Desember 1955. Pemilu untuk memilih anggota DPR diikuti 118 parpol atau gabungan atau perseorangan dengan total suara 43.104.464 dengan 37.785.299 suara sah. Sementara itu, untuk pemilihan anggota Konstituante, jumlah suara sah meningkat menjadi 37.837.105 suara. 

Pemilu 1971

Pemilu 1971 diadakan tanggal 3 Juli 1971. Pemilu ini dilakukan berdasarkan Undang-undang Nomor 15 Tahun 1969 tentang Pemilu dan Undang-undang Nomor 16 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR dan DPRD. Pemilu ditujukan memilih 460 anggota DPR dimana 360 dilakukan melalui pemilihan langsung oleh rakyat sementara 100 orang diangkat dari kalangan angkatan bersenjata dan golongan fungsional oleh Presiden.

Untuk pemilihan anggota DPR dan DPRD digunakan sistem perwakilan berimbang (proporsional) dengan stelsel daftar. Pemilu diadakan di 26 provinsi Indonesia.[5] Rakyat pemilih mencoblos tanda gambar partai. Untuk memilih anggota DPR daerah pemilihannya adalah Daerah Tingkat I (provinsi) dan sekurang-kurangnya 400.000 penduduk memiliki satu orang wakil dengan memperhatikan bahwa setiap provinsi minimal memiliki wakil minimal sejumlah daerah tingkat II (kabupaten/kota) di wilayahnya. Setiap daerah tingkat II minimal punya satu orang wakil.

Dalam Pemilu 1971, total pemilih terdaftar adalah 58.179.245 orang dengan suara sah mencapai 54.699.509 atau 94% total suara.[6] Dari total 460 orang anggota parlemen yang diangkat presiden, 75 orang berasal dari angkatan bersenjata sementara 25 dari golongan fungsional seperti tani, nelayan, agama, dan sejenisnya. Dari ke-25 anggota golongan fungsional kemudian bergabung dengan Sekber Golkar sehingga kursi Golkarmeroket hingga ke angka 257 (dari 232 ditambah 25). Dari 460 orang anggota parlemen, jumlah anggota berjenis kelamin laki-laki 426 dan perempuan 34 orang.


Pemilu 1977

Dasar hukum Pemilu 1977 adalah Undang-undang No. 4 Tahun 1975.[7] Pemilu ini diadakan setelah fusi partai politik dilakukan pada tahun 1973. Sistem yang digunakan pada pemilu 1977 serupa dengan pada pemilu 1971 yaitu sistem proporsional dengan daftar tertutup. Pemilu 1977 diadakan secara serentak tanggal 2 Mei 1977. Pemilu 1977 ditujukan guna memiliki parlemen unicameral yaitu DPR di mana 360 orang dipilih lewat pemilu ini sementara 100 orang lainnya diangkat oleh Presiden Suharto.

Persyaratan untuk ikut serta sebagai pemilih adalah berusia sekurangnya 17 tahun atau pernah menikah, kecuali mereka yang menderita kegilaan, eks PKI ataupun organisasi yang berkorelasi dengannya, juga narapidana yang terkena pidana kurung minimal 5 tahun tidak diperbolehkan ikut serta. Sementara itu, kandidat yang boleh mencalonkan diri sekurang berusia 21 tahun, lancar berbahasa Indonesia, mampu baca-tulis latin, sekurangnya lulusan SMA atau sederajat, serta loyal kepada Pancasila sebagai ideologi negara. Votingdilakukan di 26 provinsi dengan sistem proporsional daftar partai (party list system).[8] 

Jumlah pemilih yang terdaftar 70.662.155 orang sementara yang menggunakan hak pilihnya 63.998.344 orang atau meliputi 90,56%. Sekber Golkar beroleh suara 39.750.096 (62,11%) dan memperoleh 232 kursi. PPP beroleh suara 18.743.491 (29,29%) dan memperoleh 99 kursi. PDI beroleh 5.504.757 suara (8,60%) dan memperoleh 29 kursi. Sementara itu, kursi jatah ABRI adalah 75 kursi dan golongan fungsional 25 kursi. Golongan fungsional lalu menggabungkan diri ke dalam sekber Golkar sehingga kursi untuk Golkar bertambah menjadi 257 kursi. Anggota parlemen laki-laki 426 orang sementara perempuan 34 orang (7,40%).

Pemilu 1982
Pemilu 1982 diadakan tanggal 4 Mei 1982. Tujuannya sama seperti Pemilu 1977 di mana hendak memilih anggota DPR (parlemen). Hanya saja, komposisinya sedikit berbeda. Sebanyak 364 anggota dipilih langsung oleh rakyat, sementara 96 orang diangkat oleh presiden. Pemilu ini dilakukan berdasarkan Undang-undang No. 2 tahun 1980.[9] 

Voting dilakukan di 27 daerah pemilihan berdasarkan sistem Proporsional dengan Daftar Partai (Party-List System). Partai yang beroleh kursi berdasarkan pembagian total suara yang didapat di masing-masing wilayah pemilihan dibagi electoral quotient di masing-masing wilayah. Jumlah total pemilih terdaftar adalah 82.132.263 orang dengan jumlah suara sah mencapai 74.930.875 atau 91,23%. Golkar beroleh 48.334.724 suara (58,44%) sehingga berhak untuk mendapat 246 kursi parlemen. PPP beroleh 20.871.880 suara (25,54%) sehingga berhak untuk mendapat 94 kursi parlemen. PDI beroleh 5.919.702 suara (7,24%) sehingga berhak mendapat 24 kursi parlemen. Anggota DPR yang diangkat Presiden Suharto berasal dari ABRI sejumlah 75 orang dan golongan fungsional sebanyak 21 orang. Golongan fungsional lalu bergabung dengan Golkar sehingga kursi parlemen Golkar naik menjadi 267 kursi.[10] Dari 360 anggota parlemen, yang berjenis kelamin laki-laki sejumlah 422 dan perempuan 38 orang.


Pemilu 1987
Pemilu 1987 diadakan tanggal 23 April 1987. Tujuan pemilihan sama dengan pemilu sebelumnya yaitu memilih anggota parlemen. Total kursi yang tersedia adalah 500 kursi. Dari jumlah ini, 400 dipilih secara langsung dan 100 diangkat oleh Presiden Suharto. Sistem Pemilu yang digunakan sama seperti pemilu sebelumnya, yaitu Proporsional dengan varian Party-List.

Total pemilih yang terdaftar adalah sekitar 94.000.000 dengan total suara sah mencapai 85.869.816 atau 91,30%.[11] Golkar beroleh 62.783.680 suara (73,16%) sehingga berhak atas 299 kursi parlemen. PPP beroleh 13.701.428 suara (15,97%) sehingga berhak atas 61 kursi parlemen. PDI beroleh 9.384.708 suara (10,87%) sehingga berhak atas 40 kursi parlemen. Jumlah anggota parlemen dari ABRI yang diangkat Presiden Suharto berjumlah 75 orang (kursi) sementara dari golongan fungsional 25 orang (kursi).  Jumlah anggota parlemen yang berjenis kelamin laki-laki adalah 443 sementara yang perempuan 57 orang. Sementara itu, jumlah anggota parlemen berusia 21-30 tahun adalah 5 orang, 31-40 tahun 38 orang, 41-50 tahun 173 orang, 51-60 tahun 213 orang, 61-70 tahun 70 orang, dan 71-80 tahun 1 orang.

Pemilu 1992
Pemilu 1992 diadakan tanggal 9 Juni 1992 dengan dasar hukum Sistem Pemilu yang digunakan sama seperti pemilu sebelumnya yaitu Proporsional dengan varian Party-List. Tujuan Pemilu 1992 adalah memilih secara langsung 400 kursi DPR. Total pemilih yang terdaftar adalah 105.565.697 orang dengan total suara sah adalah 97.789.534.[12]  Untuk hasil Pemilu 1992, Golkar beroleh 66.599.331 suara (68,10%) sehingga berhak atas 282 kursi parlemen. PPP beroleh 16.624.647 suara (17,01%) sehingga berhak atas 62 kursi parlemen. PDI beroleh 14.565.556 suara (10,87%) sehingga berhak atas 56 kursi parlemen. Presiden Suharto mengangkat 75 orang (kursi) untuk ABRI dan 25 orang (kursi) untuk golongan fungsional.

Komposisi anggota DPR totalnya adalah 500 orang. Dari jumlah tersebut yang berjenis kelamin laki-laki adalah 439 orang sementara perempuan 61 orang. Di sisi lain, kisaran usia anggota DPR ini adalah 21-30 tahun 3 orang; 31-40 tahun 45 orang; 41-50 tahun 144 orang; 51-65 tahun 287 orang; dan di atas 65 tahun 21 orang.

Pemilu 1997
Pemilu 1997 merupakan Pemilu terakhir di masa administrasi Presiden Suharto. Pemilu ini diadakan tanggal 29 Mei 1997. Tujuan pemilu ini adalah memilih 424 orang anggota DPR. Sistem pemilu yang digunakan adalah Proporsional dengan varian Party-List. Pada tanggal 7 Maret 1997, sebanyak 2.289 kandidat (caleg) telah disetujui untuk bertarung guna memperoleh kursi parlemen.[13] Hasil Pemilu 1997 adalah Golkar beroleh 84.187.907 suara (74,51%) sehingga berhak atas 325 kursi parlemen. PPP beroleh 25.340.028 suara (22,43%) sehingga berhak atas 89 kursi parlemen. PDI beroleh 3.463.225 suara (3,06%) sehingga berhak atas 11 kursi parlemen. Anggota parlemen yang diangkat Presiden Suharto hanya dari ABRI saja yaitu 75 orang (kursi). Total anggota parlemen 500 orang.

Pemilu 1997 ini menuai sejumlah protes. Di Kabupaten Sampang, Madura, puluhan kotak suara dibakar massa oleh sebab kecurangan Pemilu dianggap sudah keterlaluan. Sementara itu, PDI mengalami penurunan suara signifikan akibat intervensi pemerintah terhadap kepemimpinan partai. Megawati Sukarnoputri dihabisi secara politik dengan cara pemerintah mendukung pimpinan tandingan Suryadi dan Fatimah Ahmad.

Dari 500 anggota DPR, yang berjenis kelamin laki-laki adalah 443 orang sementara perempuan adalah 57 orang. Distribusi anggota DPR yang berusia 21-30 tahun 3 orang; 31-40 tahun 51 orang; 41-50 tahun 134 orang; 51-65 orang 310 orang; dan di atas 65 tahun 2 orang.

Pemilu 1999
Pemilu 1999 adalah pemilu pertama pasca kekuasaan presiden Suharto. Pemilu ini diadakan di bawah kepemimpinan Presiden B.J. Habibie. Pemilu ini terselenggara di bawah sistem politik Demokrasi Liberal. Artinya, jumlah partai peserta tidak lagi dibatasi seperti pemilu-pemilu lalu yang hanya terdiri dari Golkar, PPP, dan PDI.

Sebelum menyelenggarakan Pemilu, pemerintahan B.J. Habibie mengajukan tiga rancangan undang-undang selaku dasar hukum dilangsungkannya pemilu 1999, yaitu RUU tentang Partai Politik, RUU tentang Pemilu, dan RUU tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR, dan DPRD. Ketiga RUU ini diolah oleh Tim Tujuh yang diketuai Profesor Ryaas Rasyid dariInstitut Ilmu Pemerintahan. Setelah disetujui DPR, barulah pemilu layak dijalankan. Pemilu 1999 diadakan berdasarkan Undang-undang Nomor 3 tahun 1999 tentang Pemilihan Umum. Sesuai pasal 1 ayat (7) pemilu 1999 dilaksanakan dengan menggunakan sistem proporsional berdasarkan stelsel daftar dengan varian Roget.[14] 

Dalam pemilihan anggota DPR, daerah pemilihannya (selanjutnya disingkat Dapil) adalah Dati I (provinsi), pemilihan anggota DPRD I dapilnya Dati I (provinsi) yang merupakan satu daerah pemilihan, sementara pemilihan anggota DPRD II dapilnya Dati II yang merupakan satu daerah pemilihan. Jumlah kursi anggota DPR untuk tiap daerah pemilihan ditetapkan berdasarkan jumlah penduduk Dati I dengan memperhatikan bahwa Dati II minimal harus mendapat 1 kursi yang penetapannya dilakukan oleh KPU.

Undang-undang Nomor 3 tahun 1999 juga menggariskan bahwa jumlah kursi DPRD I minimal 45 dan maksimal 100 kursi. Jumlah kursi tersebut ditentukan oleh besaran penduduk. Provinsi dengan jumlah penduduk hingga 3.000.000 jiwa mendapat 45 kursi. Provinsi dengan jumlah penduduk 3.000.001 – 7.000.000 mendapat 55 kursi. Provinsi dengan jumlah penduduk 5.000.001 – 7.000.000 mendapat 65 kursi. Provinsi dengan jumlah penduduk 7.000.001 – 9.000.000 mendapat 75 kursi. Provinsi dengan jumlah penduduk 9.000.001 – 12.000.000 mendapat 85 kursi. Sementara itu, provinsi dengan jumlah penduduk di atas 12.000.000 mendapat 100 kursi.

Undang-undang juga mengamanatkan bahwa untuk Dati II (kabupaten/kota) minimal mendapat 1 kursi untuk anggota DPRD I lewat penetapan KPU. Dati II berpenduduk hingga 100.000 mendapat 20 kursi. Dati II berpenduduk 100.001 – 200.000 mendapat 25 kursi. Dati II berpenduduk 200.001 – 300.000 mendapat 30 kursi. Dati II berpenduduk 300.001 – 400.000 mendapat 35 kursi. Dati II berpenduduk 400.001 – 500.000 mendapat 40 kursi. Sementara itu, untuk Dati II berpenduduk di atas 500.000 mendapat 45 kursi. Setiap kecamatan minimal harus diwakili oleh 1 kursi di DPRD II. KPU adalah pihak yang memutuskan penetapan perolehan jumlah kursi.

Jumlah partai yang terdaftar di Kementrian Hukum dan HAM adalah 141 partai, sementara yang lolos verifikasi untuk ikut Pemilu 1999 adalah 48 partai. Pemilu 1999 diadakan tanggal 7 Juni 1999. Namun, tidak seperti pemilu-pemilu sebelumnya, Pemilu 1999 mengalami hambatan dalam proses perhitungan suara. Terdapat 27 partai politik yang tidak bersedia menandatangani berkas hasil pemilu 1999 yaitu: Partai Keadilan, PNU, PBI, PDI, Masyumi, PNI Supeni, Krisna, Partai KAMI, PKD, PAY, Partai MKGR, PIB, Partai SUNI, PNBI, PUDI, PBN, PKM, PND, PADI, PRD, PPI, PID, Murba, SPSI, PUMI, PSP, dan PARI.[15] 

Karena penolakan 27 partai politik ini, KPU menyerahkan keputusan kepada Presiden. Presiden menyerahkan kembali penyelesaian persoalan kepada Panitia Pengawas Pemilu (selanjutnya disingkat Panwaslu. Rekomendasi Panwaslu adalah, hasil Pemilu 1999 sudah sah, ditambah kenyataan partai-partai yang menolak menandatangani hasil tidak menyertakan point-point spesifik keberatan mereka. Sebab itu, Presiden lalu memutuskan bahwa hasil Pemilu 1999 sah dan masyarakat mengetahui hasilnya tanggal 26 Juli 1999.

Masalah selanjutnya adalah pembagian kursi. Sistem Pemilu yang digunakan adalahProporsional dengan varian Party-List. Masalah yang muncul adalah pembagian kursi sisa. Partai-partai beraliran Islam melakukan stembus-accord (penggabungan sisa suara) menurut hitungan Panitia Pemilihan Indonesia (PPI) hanya beroleh 40 dari 120 kursi. Di sisi lain, 8 partai beraliran Islam yang melakukan stembus-accord tersebut mengklaim mampu memperoleh 53 dari 120 kursi sisa.

Perbedaan pendapat ini lalu diserahkan PPI kepada KPU. KPU, di depan seluruh partai politik peserta pemilu 1999 menyarankan votingVoting ini terdiri atas dua opsi. Pertama, pembagian kursi sisa dihitung dengan memperhatikan suara stembus-accordKedua, pembagian tanpa stembus-accord. Hasilnya, 12 suara mendukung opsi pertama, dan 43 suara mendukung opsi kedua. Lebih dari 8 partai melakukan walk-out. Keputusannya, pembagian kursi dilakukan tanpa stembus-accord. Penyelesaian sengketa hasil pemilu dan perhitungan suara ini masih dilakukan oleh badan-badan penyelenggara pemilu karena Mahkamah Konstitusi belum lagi terbentuk.

Total jumlah suara partai yang tidak menghasilkan kursi 9.700.658 atau meliputi 9,17% suara sah. Hasil ini diperoleh dengan menerapkan sistem pemilihan Proporsional dengan Varian Roget. Dalam sistem ini, sebuah partai memperoleh kursi seimbang dengan suara yang diperolehnya di daerah pemilihan, termasuk perolehan kursi berdasarkan the largest remainder (sisa kursi diberikan kepada partai-partai yang  punya sisa suara terbesar).

Perbedaan antara Pemilu 1999 dengan Pemilu 1997 adalah bahwa pada Pemilu 1999 penetapan calon terpilih didasarkan pada rangking perolehan suara suatu partai di daerah pemilihan. Jika sejak Pemilu 1971 calon nomor urut pertama dalam daftar partai otomatis terpilih bila partai itu mendapat kursi, maka pada Pemilu 1999 calon terpilih ditetapkan berdasarkan suara terbesar atau terbanyak dari daerah di mana seseorang dicalonkan. Contohnya, Caleg A meski berada di urutan terbawah daftar caleg, jika dari daerahnya ia dan partainya mendapatkan suara terbesar, maka dia-lah yang terpilih. Untuk penetapan caleg terpilih berdasarkan perolehan suara di Daerah Tingkat II (kabupaten/kota), Pemilu 1999 ini sama dengan metode yang digunakan pada Pemilu 1971.

Dari total 500 anggota DPR yang dipilih, sebanyak 460 orang berjenis kelamin laki-laki dan hanya 40 orang yang berjenis kelamin perempuan. Sebab itu, persentase anggota DPR yang berjenis kelamin perempuan hanya meliputi 8% dari total.

Pemilu 2004
Pemilu 2004 merupakan sejarah tersendiri bagi pemerintah dan rakyat Indonesia. Di pemilu 2004 ini, untuk pertama kali rakyat Indonesia memilih presidennya secara langsung. Pemilu 2004 sekaligus membuktikan upaya serius mewujudkan sistem pemerintahan Presidensil yang dianut oleh pemerintah Indonesia.

Pemilu 2004 menggunakan sistem pemilu yang berbeda-beda, bergantung untuk memilih siapa. Dalam pemilu 2004, rakyat Indonesia memilih presiden, anggota parlemen (DPR, DPRD I, dan DPRD II), serta DPD (Dewan Perwakilan Daerah). Untuk ketiga maksud pemilihan tersebut, terdapat tiga sistem pemilihan yang berbeda.

Sistem pemilu yang digunakan adalah Proporsional dengan Daftar Calon Terbuka. Proporsional Daftar adalah sistem pemilihan mengikuti jatah kursi di tiap daerah pemilihan. Jadi, suara yang diperoleh partai-partai politik di tiap daerah selaras dengan kursi yang mereka peroleh di parlemen.

Untuk memilih anggota parlemen, digunakan sistem pemilu Proporsional dengan varian Proporsional Daftar (terbuka). Untuk memilih anggota DPD, digunakan sistem pemilu Lainnya, yaitu Single Non Transverable Vote (SNTV). Sementara untuk memilih presiden, digunakan sistem pemilihan Mayoritas/Pluralitas dengan varian Two Round System (Sistem Dua Putaran).




















                                               BAB III
                                             PENUTUP


I.KESIMPULAN
    
     Sitem pemilu merupakan suatu kegiatan yang sangat menarik di kalangan mayarakat . sistem pemilu bisa juga di katakana alat untuk memilih perwakilan DPR yang pas . sistem pemilu juga di rumuskan sebagai proses pemilihan perwakilan DPR/D yang memang pas.

       Di Indonesia sudah ada 9 kali menyelenggarakan pemilihan umum sejak kemerdekaan Indonesia . sistem pemilu yang dianut Indonesia adalah sistem pemilihan proporsional , adanya usulan pemilu paska soeharto yang tetap menggunakan sistem proporsional. Adanya usulan sistem pemilu distrik tetapi di tolak. Dengan alasan bahwa sistem pemilu proporsional lebih pas di Indonesia. Hal ini berkaitan dengan tingkat kemajemukan di Indonesia. Adanya kekhawatiran jika menggunakn distrik karena aka nada kelompok kelompok yang tidak terwakili khususnya masyarakat kecil. Sitem proporsional juga banyak di setujui oleh DPR , karena sistem ini lebih mengutungkan. Bisa saja sistem proporsional ini akan di gunakan selamanya di Indonesia. Karena tidak mudah untuk mengganti sistem pemilu di suatu Negara kecuali perubahan politik yang radikal . Di Indonesia sendiri sistem pemilu sudah mengalami perubahan dari sistem tertutup menjadi sistem proporsional semi daftar terbuka dan sistem proporsional terbuka.
            
      Pasca pemerintahan Soeharto terdapat perubahan sistem pemilu yaitu terjadinya modifikasi sistem proporsional Indonesia , dari proporsional tertutup menjadi proporsional semi daftar terbuka . dilihat dari perubahan yang terjadi pada tahun 1999 dengan orde baru. Masa orde baru yang menjadi pilihan nya yaitu provinsi sedangkan pada tahun 1999 provinsi itu masih daerah pilihan tetapi telah menjadi pertimbangan kabupaten kota dan alokasi dari partai dengan perolehan suara. Pada pemilu tahun 2004 daerah pemilihan tidak lagi provinsi akan tetapi daerah yang lebih kecil lagi walaupun ada daerah pemilihan yang mencakup satu provinsi seperti Riau ,Jambi  ,Bengkulu ,Bangka Belitung, Kepri ,yogykarta , bali semua provinsi di Kalimantan , Sulawesi utara dan tenggara , gorontalo, Maluku , Maluku utara, papua dan irian jaya barat. Masing masing pilihan mendapatkan 3-12 kursi. Pada pemilu besaran daerah pemilihan                      untuk DPR diperkecil 3-10.pada pemilu 1999 dan orde baru para pemilih cukup memilih tanda gambar peserta pemilu. pada tahun 2004 para pemilih boleh coblos tanda gambar kontestan pemilu dan calonnya. Agar pemilih dapat mengenal calonnya dan menentukan siapa yang menjadi wakil DPR dan dapat memberikan calon yang tidak ada nomor atas untuk terpilih asalkan memenuhi jumlah bilangan pembagi pemilih (BPP) . Di katakan perubahan proporsional ini semi daftar terbuka karena penentuan atau pemilihan siapa yang akan mewakili partai di dalam perolehan kursi DPR/D tidak didasarkan perolehan suara terbanyak tetapi nomor urut .

      Sistem proporsional semi daftar terbuka pada dasarnya merupakan hasil sebuah kompromi dalam pembahasan RUU mengenai hasil pemilu pada 2002 PDIP,GOLKAR,PPP jelas jelas menolak sistem daftar terbuka karena penentuan caleg adalah hak partai peserta pemilu. Memang jika diberlakukannya sistemdaftar terbuka akan mengurangi otoritas partai dalam menyeleksi caleg yang cocok duduk di kursi DPR/D. Tetapi akhirnya ketiga partai itu menyetujui perubahan tetapi tidak terbuka secara bebas melainkan setengah saja.


II.Saran


       Bagi para pembaca dan rekan-rekan yang lainnya, jika ingin menambah wawasan dan ingin mengetahui lebih jauh, maka penulis mengharapkan dengan rendah hati agar lebih membaca buku-buku ilmiah dan buku-buku lainnya yang berkaitan dengan judul “ SISTEM POLITIK INDONESIA”. Kritik dan saran yang bersifat membangun selalu kami harapkan demi perbaikan dan   kesempurnaan Makalah kami.Jadikanlah makalah ini sebagai sarana yang dapat mendorong para mahasiswa/i berfikir aktif dan kreatif.

III. DAFTAR PUSTAKA
Budiardjo Miriam, 2008, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta, PT Gramedia Pustaka Utama.
Marijan Kacung, 201